Blogger news

Fiqih Puasa Praktis: Mulai dari Hukum, Syarat, Rukun, hingga Hal yang Membatalkan lengkap beserta Dalil

Dasar Hukum Puasa

      Puasa (shaum shiyam) secara bahasa adalah menahan diri dari sesuatu. Menurut syari’at adalah menahan diri dari makan, minum, dan hal-hal yang membatalkan lainnya disertai dengan niat, sejak dari terbit fajar sampai terbenam matahari. Pada dasarnya, Allah swt. mewajibkan puasa Ramadhan dan menjadikannya salah satu rukun Islam yang lima, sebagaimana dalam Firman-Nya, yang artinya:

Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kalian bertakwa.” (Q.S. Al-Baqarah [2]: 183).

Dan Firman Allah swt, yang artinya:

Bulan Ramadhan adalah (bulan) yang di dalamnya diturunkan Al-Qur’an, sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang batil). Karena itu, barang siapa di antara kalian ada di bulan itu (di negeri tempat tinggalnya), maka hendaklah dia perpuasa.” (Q.S. Al-Baqarah [2]: 185).

Berdasarkan apa yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Umar r.a., dia berkata, Rasulullah saw, bersabda yang artinya:

Islam dibangun di atas lima dasar; persaksian bahwa tidak ada tuhan yang berhak disembah kecuali Allah, dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan shalat, menunaikan zakat, puasa Ramadhan, dan haji ke Baitullah bagi siapa yang mampu mengadakan perjalanan ke sana.” (Muttafaqun ‘Alaih; diriwayatkan oleh Al-Bukhari, no. 8 dan Muslim no. 16).

Sungguh umat Islam telah berijmak atas diwajibkannya puasa Ramadhan, bahwa ia termasuk salah satu rukun Islam yang wajib diketahui dalam Islam secara pasti, dan barang siapa mengingkarinya, maka dia kafir, yaitu murtad dari Islam. Dengan demikian, maka kewajiban puasa Ramadhan menjadi tetap berdasarkan Al-Qur’an, As-Sunnah, dan Ijma’. Kaum Muslim telah sepakat menyatakan kafir atas orang yang mengingkarinya.

Rukun Puasa

Rukun puasa ada dua, yaitu:

1). Menahan diri dari perkara-perkara yang membatalkan sejak dari terbitnya fajar sampai terbenam matahari. Dalil rukun ini adalah Firman Allah swt., yang artinya:

Maka sekarang campurlah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah bagi kalian. Makan dan minumlah hingga jelas bagi kalian (perbedaan) antara benang putih dan benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa sampai (datang) malam hari.” (Q.S. Al-Baqarah [2]: 187).

2). Niat, yaitu orang yang puasa bersengaja menahan diri dari segala hal yang membatalkan ibadah kepada Allah swt. Dengan niat ini akan terpisahkan antara perbuatan yang tujuannya adalah ibadah dengan perbuatan yang bukan ibadah. Dengan niat, akan terbedakan antara satu ibadah dengan ibadah lain, sehingga orang yang puasa dapat memaksudkan puasanya, baik puasa Ramadhan ataupun puasa-puasa lainnya. Dalil rukun ini adalah sabda Nabi saw. yang artinya:

Sesungguhnya amal-amal itu hanya tergantung dengan niat-niatnya, dan sesungguhnya seseorang hanya mendapatkan apa yang diniatkannya.” (Muttafaqun ‘Alaih; diriwayatkan oleh Al-Bukhari, no. 1 dan Muslim, no. 1907).

Syarat Puasa

Adapun yang termasuk syarat-syarat puasa adalah sebagai berikut,

1). Islam, sehingga puasa tidak wajib dan tidak sah dilakukan oleh orang kafir, karena puasa adalah ibadah, dan ibadah itu tidak sah dilakukan oleh orang kafir, lalu bila orang kafir itu masuk Islam, maka dia tidak wajib mengqadha puasa yang telah lewat selama dia kafir.

2). Baligh, sehingga puasa tidak wajib atas orang yang belum mencapai umur dewasa, berdasarkan sabda Nabi saw, yang artinya:

Pena diangkat dari tiga orang...” (Diriwayatkan oleh Ahmad, 6/100; dan Abu Dawud, 4/558, dishahihkan oleh Al-Albani dalam Irwa’ Al-Ghalil, no. 297).

3). Berakal, karena itu tidaklah wajib bagi orang yang hilang akalnya seperti gila, pingsan, atau mabuk yang tidak disengajakan.

4). Mampu, baik ukuran fisik maupun ukuran syara’. Karena itu tidaklah wajib berpuasa bagi orang yang tidak mampu karena sakit atau karena sangat tua, dan juga tidak wajib bagi wanita yang haid dan nifas karena kedua hal ini dianggap oleh syara’ sebagai syarat mampu.

Hal-Hal yang Membatalkan Puasa

Yang membatalkan puasa itu ada dua macam:

1). Yang membatalkan dan karenanya wajib qadha

2). Yang membatalkan dan karenanya wajib qadha dan kafarat

1). Adapun yang membatalkan dan karenanya wajib qadha saja, ialah sebagai berikut:

a. Makan dan minum dengan sengaja, jika seseorang makan dan minum itu dalam keadaan lupa, tersalah atau terpaksa, maka tidak wajib qadha dan kafarat. Diterima dari Abu Hurairah r.a. bahwa Nabi saw., bersabda yang artinya:

Barang siapa lupa -padahal ia berpuasa- lalu ia makan atau minum, mak hendaklah dilanjutkan puasanya. Karena bahwasanya ia diberi makan dan minum oleh Allah” (Riwayat Jama’ah).

Menurut At-Tirmidzi, hal itu menjadi pegangan bagi kebanyakan ulama, menjadi pendirian dari Sufyan Tsauri, Syafi’i, Ahmad dan Ishak. Dan diriwayatkan pula dari Abu Hurairah r.a. oleh Daruquthni dan Baihaki, juga oleh Hakim yang menyatakan sah menurut syarat Muslim, bahwa Nabi saw., bersabda yang artinya:

Barang siapa yang berbuka pada bulan Ramadhan –dalam keadaan lupa- maka ia tidak wajib mengqadha atau membayar kafarat.” (Menurut Hafizh Ibnu Hajar, isnadnya sah).

Dan dari Ibnu Abbas r.a. bahwa Nabi saw., bersabda yang artinya: “Sesungguhnya Allah tidak membenani umatku mengenai hal-hal yang tersalah, yang dilakukan dalam keadaan lupa dan dalam keadaan terpaksa.” (H.R. Ibnu Majah, At-Thabrani dan Al-Hakim).

b. Muntah dengan sengaja, jika seseorang terpaksa muntah, ia tidak wajib mengqadha atau membayar kafarat. Diterima dari Abu Hurairah r.a. bahwa Nabi saw., bersabda yang artinya:

Barang siapa didesak oleh muntah, ia tidak wajib mengqadha, tetapi barang siapa yang sengaja muntah, hendaklah ia mengqadha.” (H.R. Ahmad, Abu Dawud, At-Tirmidzi, Ibnu Majah, Ibnu Hibban dan Daruquthni, juga Al-Hakim yang menyatakan sahnya).

c. Haid dan Nifas, walau hanya sebentar pada saat terakhir sebelum matahari terbenam. Dalam hal ini para ulama telah sepakat bahwa hal tersebut membatalkannya.

d. Mengeluarkan mani (sperma), sebabnya karena laki-laki mencium atau memeluk (bersenggama) dengan keadaannya tidak membatalkan dengan mimpi di siang hari waktu berpuasa, jadi tidaklah membatalkan puasa dan tidak wajib suatu apapun. Begitu pula hanya madzi, tidak mempengaruhi puasa, biar sedikit atau banyak.

e. Memasukkan bahan yang bukan makanan ke dalam perut melalui jalan biasa, seperti banyak makan garam. Menurut ulama, ini membatalkan puasa.

f. Meniatkan berbuka, Barang siapa yang berniat berbuka padahal ia berpuasa, maka batallah puasanya walau ia tidak melakukan sesuatu yang membatalkan. Sebabnya ialah karena niat itu adalah salah satu rukun puasa.

Jika seseorang makan dan minum atau bersenggama, karena menduga bahwa matahari telah terbenam atau fajar belum menyingsing, kemudian ternyata bahwa dugaan itu salah. Maka menurut jumhur ulama, termasuk di dalamnya Imam yang berempat, ia wajib mengqadha. Sebaliknya, Ishak, Abu Dawud, Ibnu Hazmin ‘Atha’, Urwah, Hasan Bashri dan Mujahid berpendapat bahwa puasanya sah dan tidak perlu mengqadha. Berdasarkan Firman Allah swt. yang artinya:

Kamu tidaklah berdosa jika bersalah melakukan sesuatu, hanya berdosa mengenai hal-hal yang disengaja oleh hatimu.” (Q.S. Al-Ahzab: 5).

2). Mengenai hal yang membatalkan puasa dan karenanya wajib qadha dan kafarat, maka menurut jumhur ulama hanyalah bersenggama dan tidak ada yang lain. Diterima dari Abu Hurairah r.a., katanya:

Seorang laki-laki datang kepada Nabi saw., berkata: “Celaka saya, wahai Rasulullah” Nabi saw., bersabda: “Apa yang mencelakakan itu?” “Saya mencampuri isteri saya pada bulan Ramadhan”. Maka Nabi saw. bertanya: “Adakah padamu sesuatu buat memerdekakan budak?” “Tidak”, ujarnya. Tanya Nabi saw. pula: “Sanggupkah kamu berpuasa dua bulan terus-menerus?” “Tidak”, ujarnya. Tanya Nabi saw. lagi: “Adakah kamu mempunyai makanan buat diberikan kepada enam puluh orang miskin?” “Tidak”, ujarnya. Laki-laki itupun duduk, kemudian dibawa orang kepada Nabi saw. satu bakul besar berisi kurma. “Nah, sedekahkanlah ini!” perintah Nabi saw. “Apakah kepada orang yang lebih miskin dari kami?” tanya laki-laki itu; “karena di daerah yang terletak di antara tanah yang berbatuan-batu hitam itu, ada suatu keluarga yang lebih membutuhkannya daripada kami”. Maka Nabipun tertawa hingga kelihatan gerahamnya, lalu ujarnya: “Pergilah, berikanlah kepada keluargamu!”. (Diriwayatkan oleh jama’ah).

Kemudian menurut pendapat jumhur ulama, wanita dan laki-laki sama-sama berkewajiban membayar kafarat, selama keduanya menyegaja bersenggama, dengan kemauan sendiri bukan terpaksa, di siang hari bulan Ramadhan sambil meniatkan berpuasa.

Karya: iLai

Referensi:

Syukur, M. Asywadie. 2008. Kitab Sabilal Muhtadin. Surabaya: PT. Bina Ilmu.

Sabiq, Sayyid. 1997. Fikih Sunnah. Bandung: PT. Al-Ma’arif.

Nashir Al-Faqihi, Ali bin Muhammad. 2017. Fikih Muyassir: Panduan Praktis Fikih dan Hukum Islam. Jakarta: Darul Haq.

Posting Komentar