Blogger news

Was-Was Beribadah Anda Terlalu Berlebihan? Beginilah dalam Perspektif Fikih beserta Solusinya

 

بسم الله الرحمن الرحيم

الحمد لله الذى حفظ عباده من الشيطان و سلم المؤمنين المخلصين و هو المستعان و الصلاة و السلام على نبينا محمد خير الناس و بالتباعه و ذكره أذهب الله منا الوسواس و بعد

Seorang laki-laki datang kepada seorang ulama bernama Ibnu ‘Aqil, dia ingin mengadukan satu masalah, yakni dia sudah membasuh anggota wudhunya tetapi hatinya mengatakan belum, sehingga dia basuh berkali-kali, dalam riwayat lain dia mandi wajib di sungai dengan menyelam, sampai 3 kali namun masih merasa belum tuntas. Ibnu ‘Aqil menjawab pertanyaan ini dengan jawaban yang mengejutkan orang, katanya kamu tidak usah wudhu karena kamu tidak wajib wudhu. Proteslah ulama di sana dan meminta klarifikasi Ibnu ‘Aqil tentang fatwanya ini. Ibnu ‘Aqil menjawab dengan hadis:

رفع القلم عن ثلاثة: عن الصبي حتى يبلغ، و عن المجنون حتى يفيق و عن النائم حتى يستيقظ (رواه أبو داود و ابن ماجه)

Diangkatlah pena (taklif hukum) atas kanak-kanak sampai ia baligh, dari orang gila sampai ia sadar, dan dari orang tidur sampai ia bangun.” (HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah)

Orang yang sudah yakin membasuh anggota wudhunya, kemudian mengikuti bisikan bahwa ia belum membasuh adalah orang gila, maka ia tidaklah wajib berwudhu.

Cerita di atas merupakan gambaran tentang penyakit was-was yang mungkin kita pernah mengalaminya. Dan was-was ini pada tingkat keparahan tertentu bisa merambat ke ranah akidah. Orang yang diuji dengan penyakit ini akan sulit mendapat ketenangan hidup, dan akhirnya ibadah yang menjadi kebutuhan seorang hamba dirasakannya sebagai beban yang memberatkan. Kemudian timbul pertanyaan di benak Saudara, darimana pula asal muasal penyakit ini? Dapat dipastikan bahwa penyebab utama orang menjadi was-was ini adalah kejahilan atau kebodohan dalam agama yang diikutinya. Ada asumsi bahwa orang jadi was-was akibat belajar fikih, asumsi ini menurut penulis tidak tepat, karena orang yang belajar ilmu fikih justru lebih terhindar dari was-was, mungkin masyhur di antara saudara hadis Bukhari.

من يرد الله به خيرا يفقهه في الدين

Yang jadi masalah adalah banyak di antara was-was mania ini ialah yang baru belajar ilmu fikih, kemudian berhenti dan akhirnya mengambil keputusan hukum sendiri yang dikiranya sebagai ihtiyath (hati-hati) dalam beragama, padahal dia hanya mengikuti was-was setan yang dilarang agama dan hukumnya haram.

Penulis sendiri dulu sempat mengalami was-was, dan alhamdulillah dengan semakin memperdalam fikih, was-was itu berkurang dan lama kelamaan menjadi hilang.

Seorang sahabat pernah mengajak kami bicara setelah salat Zuhur di masjid kampus, dia mengadukan tentang keadaan temannya yang menurutnya sudah terkena penyakit was-was akut, kalau boleh dikatakan anggap stadium 3 lebih mendekati stadium 4. Saya yang hanya mendengar kisahnya saja merasa betapa tersiksanya orang ini, bagaimana tidak? Orang ini setiap dibonceng temannya naik motor di jalanan yang becek, dia akan marah kepada kawannya jika hanya sedikit menggas, alasannya takut lumpur jalan tersebut terkenanya dan dia menganggap lumpur jalan itu termasuk najis mughollazhoh (berat) berdasarkan asumsinya barangkali atau dalam bahasa Banjar musia tadi di jalan ini diinjak anjing. Imbasnya menurut dia, tiap dia mau salat terlebih dulu mandi nyebur sungai dengan niat menghilangkan najis mughollazhoh. Dan orang ini meskipun dikasih pengertian dan diberi tahu tidak seperti itu hukumnya, dia malah tidak percaya dan terus-menerus mengikuti hawa nafsunya, hingga pada satu fase orang ini merasa malas dan berat untuk salat.

Padahal jika ia mau belajar bahwa najis hadas itu baru dapat dihukum dengan yakin, bahkan dalam kitab Fathul Mu’in disebutkan, jika ada anjing kita lihat menengok ke dalam wadah air, maka air tadi tidak dapat dihukum najis sebelum dapat dipastikan anjing itu minum di sana dengan basahnya mulutnya. Kalau yang begitu saja tetap dihukum suci apalagi jalanan yang dia sendiri hanya mengira-ngira anjing di sana pernah lewat. Bahkan jikapun telah lewat betul jalanan itu sudah suci dengan hujan, karena dianggap lebih dari 7 kali basuhan plus sudah tercampur air hujan dengan tanah yang di jalan tadi. Bahkan kalau jalanan itu aspal pun yang minim tanah, ulama tetap menganggap najis di jalanan itu sebagai najis mafuw (ditolerir).

Oleh karena itu, pada bagian ini kami akan mencoba menuliskan apa yang telah dituliskan oleh ulama di kitab mereka tentang was-was, di antaranya yang ditulis oleh Sayyid Bakri Syatho’ yang terkenal sebagai pengarang kitab fikih terkenal “I'anatuth-Tholibin”. Ketika pengarang Fathul Mu’in menjelaskan tentang muqoronah ‘urfiyah dalam takbiratul ihram, dan menyinggung bahwa muqoranah ‘urfiyah itu lebih jauh dari was-was, ada ulasan menarik dari Sayyid Bakri Syatho', beliau menuliskan:

(قوله فى الوسواس المذموم) هو ناشىء من خبل فى العقل أو جهل فى الدين، فإن قلت هذا مناف لقول بعضهم أن الوسوسة لا تكون إلا للكاملين قلت، لا منافة لأن الأول محمول على من يسترسل فى الوسواس حتى يكاد لا تتم له عبادة و الثانى محمول على من يجاهد الشيطان فى وسوسة ليثاب الثواب الكامل

Perkataan seorang pengarang mengenai was-was yang tercela. Was-was itu timbul dari kegilaan/ketidakwarasan di dalam akal atau jahil dalam agama. Kalau kamu berkata: (statement) ini bertentangan dengan perkataan sebagian ulama, bahwa was-was itu tidak akan terjadi kecuali bagi orang orang yang sempurna iman (Kaamiliin), Maka kujawab bahwa hal itu tidak bertentangan, karena was-was yang pertama adalah diartikan atas orang yang mengulurkan dirinya (membiarkan dirinya) di dalam was-was sehingga menyebabkan ibadahnya hampir tidak sempurna. Dan was-was yang kedua itu diartikan atas orang yang berjuang melawan setan di dalam was-wasnya untuk mendapat pahala sempurna.

قال جرير بن عبيدة العدوي: شكوت إلى العلاء بن زياد ما أجد فى صدرى من الوسوسة فقال إنما مثل ذلك مثل البيت تمر فيه اللصوص فإن كان فيه شيء عالجوه و إلا مضوا و تركوه يعنى أن القلب إذا اشتغل بذكر الله تعالى لا يبقى للشيطان عليه سبيل ولكنه يكثر فيه الوسوسة وقت فتوره عن الذكر ليلهيه عن ذكر الله فالعبد مبتلى بالشيطان على كل حال لا يفارقه ولكنه يخنس إذا ذكر الله تعالى، قال قيس بن الحجاج قال لى شيطانى دخلت فيك و أنا مثل الجزور و أنا اليوم مثل العصفور، فقلت لم ذلك؟، قال لأنك تذيبني بكتاب الله تعالى

“Jarir bin ‘Ubaidah al-‘Adawy berkata: “Aku mengadukan kepada Al-‘Ala’ bin Ziyad tentang apa yang kutemui di hatiku tentang was-was”, maka beliau berkata: “Hanya saja perumpamaan hal itu seperti rumah yang dilalui perampok/pencuri, apabila rumah itu ada sesuatu isinya/hartanya maka mereka akan masuk ke dalamnya, kalau tidak ada isinya, mereka meninggalkannya.” Maksudnya hati itu jika dia sibuk dengan berzikir kepada Allah, setan tidak punya jalan untuk menggodanya, tetapi dia akan memperbanyak was-was di dalam hati (orang itu) ketika imannya melemah untuk melalaikannya dari zikrullah. Maka, seorang hamba itu diuji dengan setan di setiap keadaan dan ia tidak meninggalkannya, akan tetapi ia akan hilang jika seorang hamba mengingat Allah swt.”

Telah berkata Qois bin Al Hajjaj: “Setan yang menggodaku berkata kepadaku, “Aku telah masuk ke dalam dirimu dulu seperti unta, dan hari ini aku seperti burung pipit.” Kemudian aku tanya, kenapa seperti itu? Dia jawab, “Karena kamu telah melelehkanku dengan kitab Allah.

و قال عثمان بن العاص رضي الله عنه يا رسول الله، الشيطان حال بينى و بين صلاتى و قرائتى. فقال: ذلك الشيطان يقال له خنزب إذا أحسسته فتعوذ بالله و اتفل على يسارك ثلاثا قال ففعلت ذلك فأذهب الله عنى.  فمن كثرت وسوسته فى الصلاة فليستعذ بالله من الشيطان و يقول: اللهم إنى أعوذ بك من شيطان الوسوسة خنزب ثلاث مرات فإن الله يذهبه

Utsman bin Abu Al-Ash ra. telah berkata: “Ya Rasulallah, setan telah menghalangi antara aku, salatku dan bacaanku”, lalu Nabi saw. bersabda, “Setan itu namanya Khanzab, apabila kamu merasakannya, maka berlindunglah kepada Allah dan meludahlah ke kiri sebanyak tiga kali.” Kemudian aku kerjakan yang demikian itu, maka Allah hilangkan dariku (was-was). (HR. Muslim)

Maka, barang siapa yang banyak was-wasnya di dalam salat, hendaklah ia memohon perlindungan kepada Allah dengan membaca, Allaahumma innii A'uudzubika min syaithoonil waswasati khanzab sebanyak 3 kali, maka Allah akan menghilangkannya. Insya Allah

و كان الأستاذ أبو الحسن الشاذلى يعلم أصحابه ما يدفع الوسواس و الخواطر الردئية فكان يقول لهم من أحس بذلك فليضع يده اليمنى على صدره و يقول، سبحان الملك القدوس الخلاق الفعال سبع مرات ثم يقول إن يشأ يذهبكم و يأت بخلق جديد و ما ذلك على الله بعزيز و يقول ذلك المصلى قبل الإحرام

Dan Ustadz Abul Hasan Asy-Syadzili pernah mengajari murid-muridnya apa-apa saja yang dapat menolak was-was dan bisikan-bisikan yang buruk. Beliau bilang kepada mereka, siapa yang merasakan was-was itu, letakkanlah tangan kanannya di atas dadanya dan ucapkan, “Subhaanal Malikil Qudduusil Khollaaqil fa'aal (fa'aal itu ainnya bertasydid) (Maha suci Yang Maha Raja, Maha Suci, Maha Mencipta lagi Maha Berbuat), sebanyak 7 kali. Kemudian dia baca, “Iyyasya' yudzhibkum wa ya'ti bi kholqin jadiid wa maa dzaalika 'alallaahi bi 'aziiz. (Jika Dia menghendaki Dia akan menghilangkan kalian, dan akan mendatangkan makhluk yang baru, dan itu di sisi Allah tidaklah sulit), dan orang yang salat doa itu dibaca sebelum takbiratul ihram.”

و في الخبر إن للوضوء شيطانا يقال له الولهان فاستعيذوا بالله منه فإنه يأتى إلى المتوضىء فيقول له ما أسبغت وضوءك ما غسلت وجهك ما مسحت رأسك و يذكره بأشياء يكون فعلها فمن نابه شيء من ذلك فليستعذ بالله من الولهان فإن الله يصرفه عنه

Dan di dalam satu khabar, sesungguhnya dalam wudhu itu ada syaitan yang disebut walahan, maka berlindunglah kalian kepada Allah darinya, sungguh ia datang kepada orang yang berwudhu dan bilang, kamu belum menyempurnakan wudhumu, kamu belum membasuh wajahmu, kamu belum menyapu kepalamu dan dia sebut hal-hal yang sudah dikerjakan. Barang siapa yang ditimpa sesuatu seperti itu maka mohonlah perlindungan kepada Allah dari walahan, sungguh Allah akan memalingkan ia darinya.

و قال بعض العلماء يستحب قول لا إله إلا الله لمن ابتلي بالوسوسة فى الوضوء و الصلاة و شبههما فإن الشيطان إذا سمع الذكر خنس تأخر  و يعيد لا إله إلا الله لأنه رأس الذكر

Telah berkata sebagian ulama, Disunnahkan membaca Laa ilaaha illallaah bagi yang diuji dengan was-was di dalam wudhu, salat, dsb. Karena sesungguhnya setan itu jika mendengar zikir, ia akan lemah maksudnya (jadi lambat setan tadi menggoda karena lemah), dan hendaknya dia ulang zikir tahlil, karena sesungguhnya ia adalah kepalanya zikir.

و قال السيد الجليل أحمد الجوزى أبى الحوارى شكوت إلى أبى سليمان الدارانى رضي الله عنه الوسوسة، فقال إذا أردت أن ينقطع عنك فأي وقت أحسسته فافرح فإذا فرحت به، انقطع عنك فإنه ليس شيء أبغض إلى الشيطان من سرور المؤمن فإذا أغممت به زاداك

قال الشيخ محي الدين النووى و هذا ما قاله بعض العلماء أن الوسواس إنما يبتلى به من كمل إيمانه، فإن اللص لا يقصد بيتا خرابا اه، بجيرمى بتصرف

“As-Sayyid Al-Jalil Ahmad Ibnul Jauzi Abil Hawari berkata: Aku mengadukan kepada Abi Sulaiman Ad-Darani ra. tentang was-was, kemudian beliau bilang:Kalau kamu ingin was-was hilang darimu, kapan saja kamu merasakannya maka bergembiralah, apabila kamu gembira, maka ia akan hilang darimu. Karena tidak ada sesuatu yang lebih membuat setan marah kecuali bahagianya orang beriman, apabila kamu sedih, maka ia akan menambah was-was.

Asy-Syaikh Muhyiddin An-Nawawi pernah berkata, ini adalah apa yang dikatakan sebagian ulama sesungguhnya was-was itu hanyalah orang yang sempurna imannya yang diuji dengannya, karena sesungguhnya pencuri tidak menghendaki/memasuki rumah yang roboh. Selesai dikutip dari Al Bujairimi, dengan perubahan.

Maka kami berpesan untuk diri kami sendiri juga saudara-saudaraku agar terus belajar ilmu agama khususnya ilmu fikih, karena faktor terbesar penyebab was-was yang tercela itu karena kebodohan terhadap syari'at, sehingga mereka memutuskan hukum sendiri dengan dalih ihtiyath atau hati-hati, padahal itu adalah was-was yang disebut oleh Syaikh Ibnu Hajar dalam Al-Fatawa Al-Kubra nya sebagai seburuk-buruknya ahli bid’ah.

Beliau bilang dalam fatwanya:

إن الوسوسة لا تسلط الا على من استحكم عليه الجهل و الخبل و صار لا تمييز له، و أما من كان على حقيقة العلم و العقل إنه لا يخرج عن الإتباع و لا يميل إلى الإبداع، و أقبح المبتدعين الموسوسون

Sesungguhnya was-was (sebuah penyakit) itu tidaklah menguasai orang, kecuali atas orang yang telah tetap atasnya kebodohan, kegilaan, dan ia menjadi tidak punya tamyiz (akal membedakan baik buruk), adapun orang yang berada pada hakikat ilmu, dia tidak keluar dari mengikut (sunnah) dan tidak condong kepada bidah. Dan seburuk-buruk ahli bid'ah adalah orang-orang yang was-was.” (Al-Fatawa Al-Kubra libni Hajar juz 1 hal 150.

Bukankah Nabi saw. pernah bersabda dalam satu hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari:

إن الدين يسر، و لا يشاد الدين إلا غلبه

Sesungguhnya agama itu mudah dan tidaklah seorang mempersulit agamanya, kecuali ia akan dikalahkan (semakin berat dan sulit).”

Dan jika timbul ketidaktahuan, tanyakanlah kepada yang lebih tahu, bunyinya:

فاسألوا أهل الذكر إن كنتم لا تعلمون

Jangan memutuskan sendiri, atau bahkan menghukumkan dugaan Anda kepada orang lain, sebagaimana yang terjadi pada sahabat Nabi saw. yang mengalami luka di kepalanya, dan ia junub, dia bertanya kepada sahabat lain, apakah tetap wajib mandi, dan sahabatnya menjawab wajib mandi. Dan akhirnya ia meninggal akibat lukanya disiram air ketika mandi. Atas perkataan sahabat tersebut, Rasulullah pun marah terhadap sikap sahabatnya yang menyuruh si sakit tadi untuk mandi. Dengan demikian, apabila kita sebagai orang yang diberi Allah sebagian kecil dari ilmunya dan dihadapkan kepada orang-orang was-was ini, maka hendaklah ia permudah dalam menyampaikan hukum, supaya orang was-was bisa mengobati penyakit was-wasnya tersebut.

Jika ada qoul (pendapat) lain dalam mazhab Syafi’i meskipun dhaif seperti qoul muqobilul ashohh, muqobilul adzhar, dsb selama tidak muqobilus shahih atau qoul yang syadz maka sampaikanlah untuk orang tadi saja, tidak untuk fatwa umum. Bahkan kalau perlu untuk mengambil pendapat mazhab lain pun tidaklah mengapa, hal ini disinggung oleh Sayyid Bakri Syatho' dalam kitab I'anatuth Tholibin ketika menjelaskan bab Qodho', bahwa bagi orang was-was dalam fatihah-nya, sehingga sulit untuk selesai dari fatihah padahal Imam sudah selesai, maka bisa ikut pendapat mazhab Maliki yang tidak mewajibkan fatihah bagi makmum.

Di Yaman pernah terjadi seorang yang was-was, kali ini adalah persoalan najis kotoran kambing, dimana penduduk Yaman pada umumnya memelihara kambing. Saking was-wasnya orang ini tidak mau berangkat jamaah ke masjid karena takut kakinya atau bajunya kena najis kotoran kambing. Peristiwa ini sampai kepada Habib Ahmad bin Hasan Al-'Aththos pengarang kitab Tadzkirunnas, yang terkenal dan sering dipelajari khususnya di kalangan habaib. beliau bilang, “Salatlah kamu di atas kotoran unta!”, si was-was tadi kaget dan dia protes bahwa itu najis dan haram juga tidak sah salat di atas najis. Namun Habib Ahmad tetap menyuruhnya salat, saya yang nanggung, kata beliau. Selesai salat beliau jelaskan bahwa kotoran unta (kotoran dari hewan yang halal dimakan) adalah suci menurut mazhab Malik dan salatmu sudah sah. Bahkan sebenarnya tidak hanya dalam mazhab Malik, di antara ulama Syafiiyyah pun ada yang berpendapat seperti itu seperti Imam Royani dan Ushtukhroi. Begitu juga pendapat mazhab Hambali, sehingga bisa kita lihat di Arab sana kencing unta itu diperjual belikan untuk dijadikan sebagai obat.

Ada juga seseorang pernah bertanya kepada guru kami, dia ini dari pertanyaannya saja sudah diketahui bahwa ia terkena penyakit was-was, kali ini tentang kotoran cicak. Guru kami pun dengan bijak menyuruhnya agar tidak usah memikirkan hal itu lagi, bahwa kotoran cicak itu dalam mazhab Malik dianggap suci. Bahkan tidak itu saja, di dalam Bughyatul-Mustarsyidin disebutkan bahwa Imam Bukhari termasuk yang berpendapat semua kotoran itu suci, kecuali dari manusia.

Jika Anda was-was ketika membarengkan niat dalam wudhu, maka masih dalam mazhab Syafi’i juga ada qoul meskipun lemah yang mengatakan boleh niat itu lebih dahulu sedikit daripada membasuh wajah, namun tidak berarti lebih dulu sama sekali sehingga ketika membasuh wajah kosong dari niat. Pendapat ini kata guru kami lebih mudah bagi orang awam wa bil khusus orang was-was.

Begitu juga dalam niat salat, biasanya orang yang was-was akan sulit melafazkan usholli, selalu diulang-ulang sehingga mengganggu orang yang di sebelahnya. Perlu diketahui, usholli itu perkara sunnah dan yang wajibnya adalah niat di dalam hati berbarengan takbir. Dan niat itu jika salat wajib minimal harus ada 3 saja; Qoshod seperti Aku salat, Ta'arudh (hukum salatnya seperti Aku salat fardhu), kemudian Ta'yin yaitu nama salat itu seperti Aku salat fardhu Zuhur. Jika menjadi makmum sertakan menjadi makmum atau ikut Imam. Sedangkan tentang “menghadap kiblat 4 rakaat lillahi ta'ala” adalah sunnah. Cukup yang 3 tadi sudah terpenuhi, maka sahlah takbir Anda tanpa harus terbebani dengan perasaan was-was.

Namun, perlu disampaikan bahwa bagi orang yang diberi ilmu hendaknya bijak dalam menyampaikan hukum yang mudah ini. Kemudahan ini jangan dijadikan sebagai fatwa untuk umum, karena rawan fitnah, di antaranya orang jadi Tatabbu' Ar-Rukhosh (mencari-cari kemudahan dalam agama (dengan hawa nafsu)) yang menurut Ibnu Hajar menyebabkan pelakunya menjadi fasik. Di sisi lain, akan menimbulkan gejolak di tengah umat Islam karena mereka mendengar pendapat-pendapat fikih yang mungkin tidak mereka tahu sebelumnya. Maka hendaklah hal itu disampaikan untuk orang was-was agar menenangkan hatinya hingga ia terbebas dari waswas tersebut.

و الله الموفق إلى أقوم الطريق

(Dari Musyrif M. Aditya Firdaus, Kayu Tangi, 1 Februari 2022)

Posting Komentar