بسم
الله الرحمن الرحيم
الحمد
لله الذى حفظ عباده من الشيطان و سلم المؤمنين المخلصين و هو المستعان و الصلاة
و السلام على نبينا محمد خير الناس و بالتباعه و ذكره أذهب الله منا الوسواس و بعد
Seorang laki-laki datang kepada seorang
ulama bernama Ibnu ‘Aqil, dia ingin mengadukan satu masalah, yakni dia sudah
membasuh anggota wudhunya tetapi hatinya mengatakan belum, sehingga dia basuh
berkali-kali, dalam riwayat lain dia mandi wajib di sungai dengan menyelam,
sampai 3 kali namun masih merasa belum tuntas. Ibnu ‘Aqil menjawab pertanyaan
ini dengan jawaban yang mengejutkan orang, katanya kamu tidak usah wudhu karena
kamu tidak wajib wudhu. Proteslah ulama di sana dan meminta klarifikasi Ibnu ‘Aqil
tentang fatwanya ini. Ibnu ‘Aqil menjawab dengan hadis:
رفع
القلم عن ثلاثة: عن الصبي حتى يبلغ، و عن المجنون حتى يفيق و عن النائم حتى يستيقظ (رواه
أبو داود و ابن ماجه)
“Diangkatlah
pena (taklif hukum) atas kanak-kanak sampai ia
baligh, dari orang gila sampai ia sadar,
dan dari orang tidur sampai ia bangun.” (HR. Abu
Dawud dan Ibnu Majah)
Orang yang sudah yakin membasuh anggota
wudhunya, kemudian mengikuti bisikan bahwa ia belum membasuh adalah orang gila,
maka ia tidaklah wajib berwudhu.
Cerita di atas merupakan gambaran tentang penyakit was-was
yang mungkin kita pernah mengalaminya. Dan was-was
ini pada tingkat keparahan tertentu bisa merambat ke ranah
akidah. Orang yang diuji dengan penyakit ini akan sulit mendapat
ketenangan hidup, dan akhirnya ibadah yang menjadi kebutuhan seorang hamba
dirasakannya sebagai beban yang memberatkan. Kemudian
timbul pertanyaan di benak Saudara, darimana pula asal muasal penyakit ini?
Dapat dipastikan bahwa penyebab utama orang menjadi
was-was ini adalah kejahilan atau kebodohan dalam agama yang diikutinya.
Ada asumsi bahwa orang jadi was-was akibat
belajar fikih, asumsi ini menurut penulis tidak tepat, karena orang yang
belajar ilmu fikih justru lebih terhindar dari was-was,
mungkin masyhur di antara saudara hadis Bukhari.
من
يرد الله به خيرا يفقهه في الدين
Yang
jadi masalah adalah banyak di antara was-was mania ini ialah yang baru
belajar ilmu fikih,
kemudian berhenti dan akhirnya mengambil keputusan hukum sendiri yang dikiranya
sebagai ihtiyath (hati-hati)
dalam beragama, padahal dia hanya mengikuti was-was
setan yang dilarang agama dan hukumnya haram.
Penulis sendiri dulu sempat mengalami was-was,
dan alhamdulillah dengan semakin memperdalam fikih,
was-was itu berkurang dan lama kelamaan menjadi hilang.
Seorang sahabat pernah mengajak kami bicara
setelah salat Zuhur di masjid kampus, dia mengadukan tentang keadaan temannya
yang menurutnya sudah terkena penyakit was-was akut, kalau boleh dikatakan
anggap stadium 3 lebih mendekati stadium 4. Saya yang hanya mendengar kisahnya
saja merasa betapa tersiksanya orang ini, bagaimana tidak? Orang ini setiap
dibonceng temannya naik motor di jalanan yang becek, dia akan marah kepada
kawannya jika hanya sedikit menggas, alasannya takut lumpur jalan
tersebut terkenanya dan dia menganggap lumpur jalan itu termasuk najis mughollazhoh
(berat) berdasarkan asumsinya barangkali atau dalam bahasa Banjar musia tadi di
jalan ini diinjak anjing. Imbasnya
menurut dia, tiap dia mau salat terlebih dulu mandi
nyebur sungai dengan niat menghilangkan najis mughollazhoh. Dan
orang ini meskipun dikasih pengertian dan diberi tahu tidak seperti itu
hukumnya, dia malah tidak percaya dan terus-menerus
mengikuti hawa nafsunya, hingga pada satu fase
orang ini merasa malas dan berat untuk salat.
Padahal jika ia mau belajar bahwa najis hadas
itu baru dapat dihukum dengan yakin, bahkan dalam kitab Fathul Mu’in disebutkan,
jika ada anjing kita lihat menengok ke dalam wadah air, maka air tadi tidak
dapat dihukum najis sebelum dapat dipastikan anjing itu minum di sana dengan
basahnya mulutnya. Kalau yang
begitu saja tetap dihukum suci apalagi jalanan yang dia sendiri hanya
mengira-ngira anjing di sana pernah lewat. Bahkan jikapun telah lewat betul jalanan itu
sudah suci dengan hujan, karena dianggap lebih dari 7 kali basuhan plus sudah
tercampur air hujan dengan tanah yang di jalan tadi. Bahkan kalau jalanan itu
aspal pun yang minim tanah, ulama tetap menganggap
najis di jalanan
itu sebagai najis ma’fuw (ditolerir).
Oleh karena itu, pada bagian ini kami akan
mencoba menuliskan apa yang telah dituliskan oleh ulama di kitab mereka tentang
was-was, di antaranya yang ditulis oleh Sayyid Bakri Syatho’ yang terkenal
sebagai pengarang kitab fikih terkenal “I'anatuth-Tholibin”. Ketika pengarang
Fathul Mu’in menjelaskan tentang muqoronah ‘urfiyah dalam takbiratul ihram,
dan menyinggung bahwa muqoranah ‘urfiyah itu lebih jauh dari was-was,
ada ulasan menarik dari Sayyid Bakri Syatho', beliau menuliskan:
(قوله فى الوسواس المذموم) هو ناشىء من خبل
فى العقل أو جهل فى الدين، فإن قلت هذا مناف لقول بعضهم أن الوسوسة لا تكون إلا
للكاملين قلت، لا منافة لأن الأول محمول على من يسترسل فى الوسواس حتى يكاد لا تتم
له عبادة و الثانى محمول على من يجاهد الشيطان فى وسوسة ليثاب الثواب الكامل
“Perkataan
seorang pengarang mengenai was-was
yang tercela. Was-was itu timbul dari kegilaan/ketidakwarasan di dalam
akal atau jahil dalam agama. Kalau kamu berkata: “(statement)
ini bertentangan dengan perkataan sebagian ulama, bahwa was-was
itu tidak akan terjadi kecuali bagi orang orang
yang sempurna iman (Kaamiliin), Maka kujawab bahwa hal itu tidak
bertentangan, karena was-was yang
pertama adalah diartikan atas orang yang mengulurkan dirinya (membiarkan
dirinya) di dalam was-was sehingga menyebabkan ibadahnya hampir tidak sempurna. Dan was-was
yang kedua itu diartikan atas orang yang berjuang melawan setan di dalam
was-wasnya untuk mendapat pahala sempurna.”
قال
جرير بن عبيدة العدوي: شكوت إلى العلاء بن زياد ما أجد فى صدرى من الوسوسة فقال
إنما مثل ذلك مثل البيت تمر فيه اللصوص فإن كان فيه شيء عالجوه و إلا مضوا و تركوه
يعنى أن القلب إذا اشتغل بذكر الله تعالى لا يبقى للشيطان عليه سبيل ولكنه يكثر
فيه الوسوسة وقت فتوره عن الذكر ليلهيه عن ذكر الله فالعبد مبتلى بالشيطان على كل
حال لا يفارقه ولكنه يخنس إذا ذكر الله تعالى، قال قيس بن الحجاج قال لى شيطانى
دخلت فيك و أنا مثل الجزور و أنا اليوم مثل العصفور، فقلت لم ذلك؟، قال لأنك تذيبني
بكتاب الله تعالى
“Jarir bin ‘Ubaidah al-‘Adawy berkata: “Aku
mengadukan kepada Al-‘Ala’ bin Ziyad tentang apa yang kutemui di hatiku tentang
was-was”, maka beliau berkata: “Hanya saja perumpamaan hal itu seperti rumah
yang dilalui perampok/pencuri, apabila rumah itu ada sesuatu isinya/hartanya
maka mereka akan masuk ke dalamnya, kalau tidak ada isinya, mereka meninggalkannya.”
Maksudnya hati itu jika dia sibuk dengan berzikir kepada Allah, setan tidak
punya jalan untuk menggodanya, tetapi dia akan memperbanyak was-was di dalam
hati (orang itu) ketika imannya melemah untuk melalaikannya dari zikrullah. Maka,
seorang hamba itu diuji dengan setan di setiap keadaan dan ia tidak
meninggalkannya, akan tetapi ia akan hilang jika seorang hamba
mengingat Allah swt.”
Telah berkata Qois bin Al Hajjaj: “Setan yang
menggodaku berkata kepadaku, “Aku telah masuk ke dalam dirimu dulu seperti
unta, dan hari ini aku seperti burung pipit.” Kemudian aku tanya, “kenapa
seperti itu?” Dia jawab, “Karena kamu
telah melelehkanku dengan kitab Allah.”
و قال
عثمان بن العاص رضي الله عنه يا رسول
الله، الشيطان حال بينى و بين صلاتى و قرائتى. فقال: ذلك الشيطان يقال له خنزب إذا
أحسسته فتعوذ بالله و اتفل على يسارك ثلاثا قال ففعلت ذلك فأذهب الله عنى. فمن كثرت وسوسته فى الصلاة فليستعذ بالله من
الشيطان و يقول: اللهم إنى أعوذ بك من شيطان الوسوسة خنزب ثلاث مرات فإن الله يذهبه
Utsman bin Abu Al-‘Ash ra. telah berkata: “Ya
Rasulallah, setan telah menghalangi antara aku, salatku
dan bacaanku”, lalu
Nabi saw. bersabda, “Setan itu namanya Khanzab, apabila kamu merasakannya,
maka berlindunglah kepada Allah dan meludahlah ke kiri sebanyak tiga
kali.” Kemudian aku kerjakan yang demikian itu, maka Allah hilangkan dariku (was-was).” (HR.
Muslim)
Maka, barang siapa yang banyak was-wasnya di dalam
salat, hendaklah ia memohon perlindungan kepada Allah dengan membaca, Allaahumma
innii A'uudzubika min syaithoonil waswasati khanzab sebanyak 3 kali, maka Allah
akan menghilangkannya. Insya Allah
و كان الأستاذ أبو الحسن الشاذلى يعلم أصحابه ما يدفع الوسواس و الخواطر الردئية فكان يقول لهم من أحس بذلك فليضع يده اليمنى على صدره و يقول، سبحان الملك القدوس الخلاق الفعال سبع مرات ثم يقول إن يشأ يذهبكم و يأت بخلق جديد و ما ذلك على الله بعزيز و يقول ذلك المصلى قبل الإحرام
“Dan
Ustadz Abul Hasan Asy-Syadzili pernah mengajari murid-muridnya
apa-apa saja yang dapat menolak was-was
dan bisikan-bisikan yang buruk. Beliau bilang kepada mereka, siapa yang
merasakan was-was itu, letakkanlah tangan kanannya di atas dadanya dan ucapkan, “Subhaanal
Malikil Qudduusil Khollaaqil fa'aal
(fa'aal itu ‘ainnya bertasydid) (Maha
suci Yang Maha Raja, Maha Suci, Maha Mencipta lagi
Maha Berbuat), sebanyak 7 kali. Kemudian dia baca, “Iyyasya' yudzhibkum wa ya'ti bi
kholqin jadiid wa maa dzaalika 'alallaahi bi 'aziiz. (Jika Dia menghendaki
Dia akan menghilangkan kalian, dan akan mendatangkan makhluk yang baru, dan itu
di sisi Allah tidaklah sulit), dan orang yang salat doa itu dibaca sebelum
takbiratul ihram.”
و
في الخبر إن للوضوء شيطانا يقال له الولهان فاستعيذوا بالله منه فإنه يأتى إلى
المتوضىء فيقول له ما أسبغت وضوءك ما غسلت وجهك ما مسحت رأسك و يذكره بأشياء يكون
فعلها فمن نابه شيء من ذلك فليستعذ بالله من الولهان فإن الله يصرفه عنه
“Dan
di dalam
satu khabar, sesungguhnya dalam wudhu itu ada
syaitan yang disebut walahan, maka berlindunglah kalian kepada Allah darinya, sungguh ia
datang kepada orang yang berwudhu dan
bilang, ‘kamu belum menyempurnakan wudhumu, kamu belum membasuh wajahmu,
kamu belum menyapu kepalamu dan dia sebut hal-hal
yang sudah dikerjakan’. Barang siapa yang ditimpa sesuatu
seperti itu maka mohonlah perlindungan kepada Allah dari walahan, sungguh
Allah akan memalingkan ia darinya.”
و قال بعض العلماء يستحب قول لا إله إلا الله لمن ابتلي بالوسوسة فى الوضوء و الصلاة و شبههما فإن الشيطان إذا سمع الذكر خنس تأخر و يعيد لا إله إلا الله لأنه رأس الذكر
Telah berkata
sebagian ulama, “Disunnahkan membaca Laa ilaaha illallaah bagi yang diuji
dengan was-was di dalam wudhu, salat, dsb.
Karena sesungguhnya setan itu jika mendengar zikir, ia akan lemah maksudnya
(jadi lambat setan tadi menggoda karena lemah), dan hendaknya dia ulang zikir
tahlil, karena sesungguhnya ia adalah kepalanya zikir.”
و قال
السيد الجليل أحمد الجوزى أبى الحوارى شكوت إلى أبى سليمان الدارانى رضي الله عنه
الوسوسة، فقال إذا أردت أن ينقطع عنك فأي وقت أحسسته فافرح فإذا فرحت به، انقطع
عنك فإنه ليس شيء أبغض إلى الشيطان من سرور المؤمن فإذا أغممت به زاداك
قال
الشيخ محي الدين النووى و هذا ما قاله بعض العلماء أن الوسواس إنما يبتلى به من كمل
إيمانه، فإن اللص لا يقصد بيتا خرابا اه، بجيرمى بتصرف
“As-Sayyid
Al-Jalil Ahmad Ibnul Jauzi Abil Hawari berkata: “Aku
mengadukan kepada Abi Sulaiman Ad-Darani ra. tentang
was-was, kemudian beliau bilang: “Kalau
kamu ingin was-was hilang darimu, kapan saja kamu merasakannya maka bergembiralah,
apabila kamu gembira, maka ia akan hilang darimu. Karena tidak ada sesuatu yang
lebih membuat setan marah kecuali bahagianya orang beriman, apabila kamu sedih,
maka ia akan menambah was-was.”
Asy-Syaikh Muhyiddin An-Nawawi pernah berkata,
ini adalah apa yang dikatakan sebagian ulama sesungguhnya was-was itu hanyalah
orang yang sempurna imannya yang diuji dengannya, karena sesungguhnya pencuri
tidak menghendaki/memasuki rumah yang roboh. Selesai dikutip dari Al Bujairimi,
dengan perubahan.
Maka kami berpesan untuk diri kami sendiri
juga saudara-saudaraku agar terus belajar ilmu agama khususnya ilmu fikih,
karena faktor terbesar penyebab was-was yang tercela itu karena kebodohan
terhadap syari'at, sehingga mereka memutuskan hukum sendiri dengan dalih ihtiyath
atau hati-hati, padahal itu adalah was-was yang disebut oleh Syaikh Ibnu Hajar
dalam Al-Fatawa Al-Kubra nya sebagai seburuk-buruknya ahli bid’ah.
Beliau bilang dalam fatwanya:
إن الوسوسة لا تسلط الا على من استحكم عليه الجهل و الخبل و صار لا تمييز له، و أما من كان على حقيقة العلم و العقل إنه لا يخرج عن الإتباع و لا يميل إلى الإبداع، و أقبح المبتدعين الموسوسون
“Sesungguhnya
was-was (sebuah penyakit) itu tidaklah
menguasai orang, kecuali atas orang yang telah tetap atasnya kebodohan, kegilaan,
dan ia menjadi tidak punya tamyiz (akal
membedakan baik buruk), adapun orang yang berada pada hakikat ilmu, dia tidak
keluar dari mengikut (sunnah) dan tidak condong kepada bid’ah.
Dan seburuk-buruk ahli bid'ah adalah orang-orang
yang was-was.” (Al-Fatawa
Al-Kubra libni Hajar juz 1 hal 150.
Bukankah Nabi saw. pernah
bersabda dalam satu hadis yang diriwayatkan oleh Imam
Bukhari:
إن
الدين يسر، و لا يشاد الدين إلا غلبه
“Sesungguhnya
agama itu mudah dan tidaklah seorang mempersulit agamanya,
kecuali ia akan dikalahkan (semakin berat dan sulit).”
Dan jika timbul ketidaktahuan, tanyakanlah kepada yang lebih tahu, bunyinya:
فاسألوا
أهل الذكر إن كنتم لا تعلمون
Jangan memutuskan sendiri, atau bahkan menghukumkan dugaan Anda
kepada orang lain, sebagaimana yang terjadi pada sahabat Nabi saw.
yang mengalami luka di kepalanya, dan ia junub, dia bertanya kepada sahabat lain, apakah
tetap wajib mandi, dan sahabatnya menjawab wajib mandi. Dan akhirnya ia meninggal akibat lukanya
disiram air ketika mandi. Atas perkataan sahabat tersebut, Rasulullah pun marah terhadap sikap sahabatnya
yang menyuruh si sakit tadi untuk mandi. Dengan demikian, apabila
kita sebagai orang yang diberi Allah sebagian kecil dari ilmunya dan dihadapkan
kepada orang-orang was-was ini, maka hendaklah ia permudah dalam
menyampaikan hukum, supaya orang was-was bisa
mengobati penyakit was-wasnya tersebut.
Jika ada qoul (pendapat) lain dalam mazhab
Syafi’i meskipun dhaif seperti qoul muqobilul ashohh, muqobilul adzhar,
dsb selama tidak muqobilus shahih atau qoul yang syadz
maka sampaikanlah untuk orang tadi saja, tidak untuk fatwa umum. Bahkan kalau
perlu untuk mengambil pendapat mazhab lain pun tidaklah mengapa, hal ini
disinggung oleh Sayyid Bakri Syatho' dalam kitab I'anatuth Tholibin ketika
menjelaskan bab Qodho', bahwa bagi orang was-was dalam fatihah-nya, sehingga
sulit untuk selesai dari fatihah padahal Imam sudah selesai, maka bisa ikut
pendapat mazhab Maliki yang tidak mewajibkan fatihah bagi makmum.
Di Yaman pernah terjadi seorang yang was-was,
kali ini adalah persoalan najis kotoran kambing, dimana penduduk Yaman pada umumnya
memelihara kambing. Saking was-wasnya orang
ini tidak mau berangkat jamaah ke masjid karena takut kakinya atau bajunya kena
najis kotoran kambing. Peristiwa ini sampai kepada Habib Ahmad bin Hasan
Al-'Aththos pengarang kitab Tadzkirunnas, yang terkenal dan sering dipelajari
khususnya di kalangan habaib. beliau bilang, “Salatlah
kamu di atas
kotoran unta!”, si was-was
tadi kaget dan dia protes bahwa itu najis dan haram juga tidak sah salat
di atas najis. Namun Habib Ahmad tetap menyuruhnya salat,
saya yang nanggung, kata beliau. Selesai salat beliau
jelaskan bahwa kotoran unta (kotoran dari hewan yang halal dimakan) adalah suci
menurut mazhab Malik dan salatmu sudah
sah. Bahkan sebenarnya tidak hanya dalam mazhab Malik, di antara
ulama Syafi’iyyah pun ada yang berpendapat seperti itu seperti Imam Royani dan
Ushtukhroi. Begitu juga pendapat mazhab Hambali,
sehingga bisa kita lihat di Arab sana kencing unta itu diperjual belikan
untuk dijadikan
sebagai obat.
Ada juga seseorang pernah bertanya kepada guru kami,
dia ini dari pertanyaannya saja sudah diketahui bahwa ia terkena penyakit was-was,
kali ini tentang
kotoran cicak. Guru kami pun dengan bijak menyuruhnya agar tidak usah
memikirkan hal itu lagi, bahwa kotoran cicak
itu dalam mazhab Malik dianggap suci. Bahkan tidak
itu saja, di dalam Bughyatul-Mustarsyidin disebutkan bahwa Imam Bukhari
termasuk yang berpendapat semua kotoran itu suci,
kecuali dari manusia.
Jika Anda was-was ketika membarengkan niat
dalam wudhu, maka masih dalam mazhab Syafi’i juga ada qoul meskipun
lemah yang mengatakan boleh niat itu lebih dahulu sedikit daripada membasuh
wajah, namun tidak berarti lebih dulu sama sekali sehingga ketika membasuh
wajah kosong dari niat. Pendapat ini
kata guru kami lebih mudah bagi orang awam wa bil
khusus orang was-was.
Begitu juga dalam niat salat, biasanya orang yang
was-was akan sulit melafazkan usholli, selalu diulang-ulang sehingga
mengganggu orang yang di sebelahnya. Perlu diketahui, usholli itu perkara
sunnah dan yang wajibnya adalah niat di dalam hati berbarengan takbir. Dan niat
itu jika salat wajib minimal harus ada 3 saja; Qoshod seperti Aku salat,
Ta'arudh (hukum salatnya seperti Aku salat fardhu), kemudian Ta'yin yaitu nama
salat itu seperti Aku salat fardhu Zuhur. Jika menjadi makmum sertakan menjadi
makmum atau ikut Imam. Sedangkan tentang “menghadap kiblat 4 rakaat lillahi
ta'ala” adalah sunnah. Cukup yang 3
tadi sudah terpenuhi, maka sahlah takbir Anda tanpa harus terbebani dengan perasaan was-was.
Namun, perlu disampaikan bahwa bagi orang yang
diberi ilmu hendaknya bijak dalam menyampaikan hukum yang mudah ini. Kemudahan
ini jangan dijadikan sebagai fatwa untuk umum, karena rawan fitnah, di antaranya
orang jadi Tatabbu' Ar-Rukhosh (mencari-cari kemudahan dalam agama
(dengan hawa nafsu)) yang menurut Ibnu Hajar menyebabkan pelakunya menjadi fasik.
Di sisi lain, akan menimbulkan gejolak di tengah umat Islam karena
mereka mendengar pendapat-pendapat fikih
yang mungkin tidak mereka tahu sebelumnya. Maka hendaklah hal itu
disampaikan untuk orang was-was agar
menenangkan hatinya hingga ia terbebas dari waswas tersebut.
و الله
الموفق إلى أقوم الطريق
(Dari Musyrif M. Aditya Firdaus, Kayu Tangi, 1 Februari 2022)
Posting Komentar
Posting Komentar