Pada hari Rabu ini, tepatnya tanggal 10 Februari 2021 ini seperti biasanya dalam dunia perkuliahan
di kampus yang berlabel UIN khususnya UIN Antasari melaksanakan pembukaan
pemondokan yang menjadi semacam kewajiban bagi setiap mahasiswa UIN untuk “measrama”
selama 2 bulan.
Meskipun kita pahami
bersama bahwa 3 tahap terakhir ini pemondokan kita yang biasanya dilakukan
secara offline atau tatap muka kini harus dilaksanakan secara tatap gawai atau
online. Meskipun terkadang terasa aneh jika melihat istilah “Pemondokan” maka
yang terbayang di otak kita adalah satu aktivitas keagamaan yang sifatnya
langsung. Tidur bersama, makan bersama, menuntut ilmu agama dan beribadah
bersama. Namun kali ini kebersamaan itu harus diganti dari kebersamaan yang
sifatnya hakiki, yaitu pertemuan jasad menjadi pertemuan sinyal lewat gawai
masing-masing.
Namun ‘ala kulli hal
meskipun pemondokan kita ini dilaksanakan secara online hendaknya tidak
mengurangi semangat kita dalam menuntut ilmu di dalamnya. Ada satu kaidah fiqih
terkenal yang menjadi acuan dalam menetapkan hukum-hukum Islam. Kaidah itu
berbunyi: Ma la yudraku kulluhu la yutraku kulluhu. Artinya, apa saja yang tidak
dapat dicapai semuanya jangan ditinggalkan semuanya. Kaidah ini yang mendasari
hukum seorang yang anggota wudhunya terluka yang menyebabkan tidak boleh
terkena air, maka tidak boleh langsung berpindah ke tayammum, namun harus tetap
berwudhu dengan air pada anggota wudhu yang masih sehat, dan bertayammum
sebagai ganti dari anggota yang tidak mungkin dibasuh dengan air. Saya teringat
salah satu dosen saya yang berprinsip selambat-lambatnya mahasiswa itu datang
bahkan meskipun di menit-menit terakhir perkuliahan tetap beliau persilahkan
masuk dan dianggap hadir karena mengamalkan kaidah ini.
Maka dapat dipahami
dari kaidah tersebut bahwa memang pelaksanaan pemondokan kita saat ini tidak
bisa dilaksanakan sebagaimana mestinya, yaitu tatap muka sebagaimana yang
dirasakan oleh mahasiswa-mahasiswa baru angkatan sebelumnya. Namun hal itu
bukan berarti kita meninggalkan pemondokan itu seluruhnya sehingga kita tidak
memperoleh hasil atau manfaat dari pemondokan ini. Namun tetaplah dilakukan
semampu-mampunya dengan seminimal-minimalnya, seperti ikhtiar kita bersama lewat
pemondokan online ini, meskipun mungkin tidak semanis pemondokan offline namun
paling tidak ada hasil yang tetap kita dapat.
Maka, yang paling
penting wahai saudara-saudaraku yang selama dua bulan ke depan In Sya Allah akan
menyandang gelar mahasantri Ma’had Al-Jami’ah UIN Antasari adalah memperbarui
niat kita masing-masing. Apakah niat kita masuk asrama ini?, Apakah karena hanya
ingin dapat selembar sertifikat asrama yang menjadi syarat sah untuk KKN?, atau
hanya untuk trend semata atau terpaksa. Banyak sekali kawan-kawan dulu yang
pada mulanya masuk asrama ini dengan terpaksa, namun ketika berakhir masa
pemondokan dia baru menyadari betapa berharganya tiap detik yang dia lalui di
asrama ini, betapa berharganya pengalaman, ilmu, dan kebersamaan di dalamnya.
Oleh karena itu, mari sing-singkan lengan baju kita dan kencangkan hati kita bersama dengan memasang niat yang benar, yaitu niat measrama untuk menuntut ilmu agama karena Allah swt. semata, bukan karena sertifikat atau motif-motif duniawi lainnya karena apa saja yang diniatkan karena Allah akan
kekal dan kita In Sya Allah akan merasakan manfaatnya nanti di negeri akhirat
yang abadi. Namun, apa saja yang diniatkan karena selain Allah, maka dia tidak
memperoleh bagian lagi di akhirat kelak. Dari sini kita teringat cerita Imam
Malik ra. yang mana pada zaman beliau merupakan zaman keemasan ilmu-ilmu keislaman
dan orang-orang masing-masing berlomba untuk mengarang kitab-kitab agama
terutama hadis dan beliau yang terkenal sebagai pemimpin ulama di zamannya
hanya mengarang satu kitab hadis, yaitu Al-Muwaththa’ yang bisa dikatakan tipis
jika dibanding kitab-kitab hadis-hadis yang dikarang para ulama di masa
beliau. Ketika beliau ditanya tentang hal itu, beliau menjawab, “Apa yang
dilakukan karena Allah maka hal itu akan kekal”. Terbukti sampai sekarang kitab
beliau menjadi salah satu rujukan utama dalam bidang hadis maupun fiqih
terutama fiqih Maliki dan banyak sekali ulama yang berlomba mensyarahi
hadis-hadis yang beliau tulis di dalam kitab Al-Muwaththa’ tersebut.
Dalam kitab
Al-Asybah wan-Nazhair karya Imam Suyuthi
diterangkan alasan mengapa orang kafir itu kekal di dalam neraka padahal
kekafirannya hanya terbatas pada waktu hidupnya saja. Begitu juga mengapa mukmin
kekal di dalam surga padahal dia beribadah kepada Allah hanya terbatas pada waktu
atau usia hidupnya saja? Imam Suyuthi dengan gamblang menjelaskan hal ini bahwa
alasan semua itu adalah pada niat. Orang kafir taruhlah misal dia hidup hanya 60
tahun, namun seandainya dia diberi izin untuk hidup selama-lamanya dia akan
memilih untuk hidup selamanya dalam kekafiran sehingga di akhirat dia dihukum
di neraka selamanya juga karena memandang dari niatnya tersebut.
Begitu juga dengan orang
yang mukmin, andaikan dia diberi izin untuk hidup selamanya tentu dia berniat
untuk beriman dan menyembah Allah swt. selamanya pula. Hal ini yang menyebabkan
dia dibalas dengan balasan kenikmatan surga yang kekal abadi selama-lamanya
juga.
Maka dari itu, mari
niatkan mengikuti pemondokan ini untuk menuntut ilmu agama yang diwajibkan
oleh Allah untuk menuntutnya. Maka, In Sya Allah setiap ketikan jari yang anda
tuliskan di gawai anda, setiap waktu yang anda korbankan dalam mengikuti kegiatan pemondokan ini dinilai
ibadah dan anda pun dinilai sebagai pejuang fi sabilillah.
Semoga perkumpulan tatap muka yang terhalang jarak ini digantikan dengan perkumpulan kita di surga kelak. Aamiin
Posting Komentar
Posting Komentar