Oleh: Musyrif Muhammad Ishaac
Menurut Islam, kemiskinan harus diselesaikan hingga
akar-akarnya agar manusia bisa mendapatkan kehidupan yang layak (terhindar dari
kepapaan) dan dapat menunaikan perintah Allah swt. Islam menginginkan setiap
manusia bisa menikmati kehidupan di dunia dengan bahagia, mendapatkan
keberkahan, dan mendapatkan nikmat Allah swt. yang luas agar mereka bisa
menyembah Allah dengan khusyu’ tanpa terganggu dengan persoalan ekonomi.
Oleh karena itu, Islam mewajibkan zakat sebagai salah satu
pilar Islam yang diambil dari orang-orang mampu untuk diberikan kepada
orang-orang fakir agar mereka bisa memenuhi kebutuhan finansialnya, seperti
kebutuhan materinya (sandang pangan), kebutuhan psikologisnya (menikah), serta
kebutuhan intelektualnya (biaya pendidikan dan literasi).
Dengan zakat ini pula kaum dhuafa bisa menikmati kehidupan
ini, menunaikan kewajibannya kepada Allah swt., tanggung jawabnya kepada
masyarakat, dan pada saat yang sama kaum dhuafa telah diperlakukan sebagai
entitas masyarakat yang terhomat; bukan lagi terpinggirkan karena orang-orang
mampu di masyarakat tersebut membantunya dengan zakat yang menjadi hak kaum
dhuafa.
Sebagaimana juga Firman Allah Swt. dalam Surah Al-Baqarah
berikut:
Artinya: “(Berinfaklah)
kepada orang-orang fakir yang terikat (oleh jihad) di jalan Allah, mereka tidak
dapat (berusaha) di bumi; orang yang tidak tahu menyangka mereka orang kaya
karena memelihara diri dari minta-minta. Kamu kenal mereka dengan melihat
sifat-sifatnya, mereka tidak meminta kepada orang secara mendesak. Dan apa saja
harta yang baik yang kamu nafkahkan (di jalan Allah), maka sesungguhnya Allah
Maha Mengetahui”. (Q.S. Al-Baqarah ayat 273)
Ayat ini berkaitan dengan orang-orang Muhajirin yang fakir
yang sedang berjihad di jalan Allah dan menjelaskan bahwa orang miskin adalah
mereka yang tidak meminta-minta dan tidak mengharapkan bantuan.
Pandangan Islam terhadap manusia itu unik dan istimewa
karena Islam telah mengangkat derajat manusia pada posisi dan kedudukan yang
istimewa yang tidak ada bandingannya dalam agama atau falsafah mana pun.
Al-Qur’an sudah menegaskan kemuliaan manusia ini dalam surah Al-Isra berikut:
Artinya: “Dan
sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan
dan di lautan, Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan
mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah kami
ciptakan.” (Q.S. Al-Isra ayat 70).
Kemudian Allah swt. telah menjadikan manusia sebagai
khalifah di muka bumi sebagai kedudukan yang mulia. Pada saat yang sama Allah
Swt. menyediakan sarana dan prasarana agar manusia dapat menunaikan amanah
besar ini, sebagaimana Firman Allah dalam Al-Qur’an Surah Luqman berikut:
Artinya: “Tidakkah
kamu perhatikan sesungguhnya Allah telah menundukkan untuk (kepentingan)mu apa yang
di langit dan apa yang di bumi dan menyempurnakan untukmu nikmat-Nya lahir dan
batin. Dan di antara manusia ada yang membantah tentang (keesaan) Allah tanpa
ilmu pengetahuan atau petunjuk dan tanpa kitab yang memberi penerangan”.
(Q.S. Luqman ayat 20)
Karena kedudukan manusia, Islam menyediakan sarana agar
manusia dapat memenuhi kebutuhannya dan menunaikan tanggung jawabnya sebagai
khalifah. Menurut Islam, kemiskinan membahayakan akidah, akhlak, dan pola
pikir individu, keluarga, ataupun masyarakat secara umum. Semakin besar angka
kemiskinan, masalah atau akibat yang ditimbulkannya juga besar. Rasulullah saw.
juga memohon perlindungan kepada Allah swt. dari ancaman kemiskinan yang
disejajarkan dengan permohonan perlindungan terhadap kekufuran.
Syaikh Manawi dalam Kitab Faidhul Qadir membandingkan antara kufur dan kemiskinan. Beliau
berkesimpulan bahwa kemiskinan bisa menyebabkan kekufuran, karena kemiskinan
menimbulkan rasa hasad kepada orang
kaya, dan hasad menghilangkan
kebaikan juga rasa ridha akan takdir
(tawakal). Dampak-dampak tersebut
walaupun bukan merupakan bentuk kekufaran namun tentu dapat menjadi jalan
seseorang menuju kekufuran.
Sufyan Ats-Tsauri mengatakan, jika ada 40.000 dinar berhasil
aku dapatkan hingga aku mati, maka itu lebih baik daripada aku miskin dalam
satu hari dan aku meminta-minta pada orang lain. Beliau mengatakan “Demi Allah, jika kemiskinan atau sakit
menimpaku, aku khawatir aku menjadi kufur secara tidak sadar!”.
Sebaliknya, memenuhi hajat fakir miskin agar mereka berdaya
dan bisa menunaikan kewajibannya sebagai khalifah adalah wajib. Ayat-ayat
Al-Qur’an dan hadis telah menegaskan bahwa membantu dan menyantuni orang-orang
miskin sama saja dengan ‘menyantuni’ Allah swt., “barangsiapa yang memenuhi hajat kaum dhuafa, seakan-akan dia memenuhi
hajat Allah swt.”
Masalah kemiskinan bukan hanya masalah ekonomi semata,
melainkan juga menjadi masalah sosial, masalah politik, dan masalah
kemanusiaan. Kemiskinan termasuk dalam daftar masalah ekonomi karena miskin
berarti kurangnya pendapatan individu atau masyarakat untuk memenuhi
kebutuhannya. Oleh karena itu, para ahli ekonomi membahas tentang masalah
kemiskinan dan langkah-langkah menyelesaikan kemiskinan. Kemiskinan juga
masalah sosial karena kemiskinan menimpa individu anggota masyarakat, sehingga
mereka tidak bisa berperan dalam mengembangkan masyarakat, layaknya anggota
masyarakat yang lain. Pada saat yang sama kemiskinan juga berpotensi melahirkan
dengki dalam diri orang-orang fakir kepada kelompok masyarakat yang kaya di antara
mereka dan menimbulkan rasa dendam kepada mereka, sehingga mengganggu dan
bahkan merusak tatanan sosial masyarakat. Oleh karena itu, para ahli ilmu sosial
berupaya mencari solusi atas masalah kemiskinan ini, baik yang menimpa pribadi,
keluarga, maupun masyarakat.
Kemiskinan juga merupakan permasalahan politik karena
menjadi masalah yang harus diselesaikan oleh sistem politik. Misalnya,
kemiskinan menjadi satu di antara tiga masalah utama yang harus diselesaikan
oleh negara, yaitu kemiskinan, kebodohan, dan penyakit. Bahkan sebelum itu,
kemiskinan adalah masalah kemanusiaan karena kemiskinan menimpa manusia yang
dijadikan oleh Allah sebagai khalifah di muka bumi ini. Maka tidak heran, jika
Islam memberikan prioritas perhatian terhadap masalah kemiskinan dan memberikan
solusi supaya kemiskinan terkikis dari masyarakat.
Ada dua fokus cara pandang Islam terhadap kemiskinan. Pertama, pandangan Islam terhadap
manusia. Kedua, pandangan Islam
terhadap kemiskinan.
Menurut Islam, zakat bukan satu-satunya instrumen untuk
mengentaskan kemiskinan. Ada instrumen lain, di antaranya bekerja yang harus
dilakukan oleh setiap individu untuk mendapatkan kehidupan yang layak bagi diri
dan keluarganya agar mandiri dan tidak bergantung pada orang lain.
Instrumen yang lain ialah nafkah yang diberikan keluarga
dan kerabat yang berkecukupan, pendapatan negara selain zakat, sedekah sunnah,
dan lain-lain. Semua instrumen itu dibuat untuk mengentaskan kemiskinan sampai
ke akar-akarnya.
Walaupun instrumen pengentasan kemiskinan banyak,
instrumen zakat memiliki peran yang sangat besar dan strategis dalam
mengentaskan kemiskinan. Peran zakat tidak terbatas pada pengentasan kemiskinan
dan akibat-akibat sosial yang ditimbulkannya, lebih dari itu membantu institusi
negara agar taat Islam dan menunaikan perannya sebagai negara Muslim yang
memiliki kewajiban untuk melindungi dan memenuhi kebutuhan finansial rakyatnya.
Salah satu kekhasan zakat adalah kemampuan zakat untuk
mengentaskan kemiskinan sampai ke akar-akarnya dan bukan memberikan solusi
temporal. Oleh karena itu, Rasulullah saw. tidak menyebut tujuan zakat selain
pengentasan kemiskinan, sebagaimana ucapannya terhadap sahabat Muadz bin Jabal
ra. saat diutus ke negeri Yaman dan memintanya untuk mengajarkan Islam kepada
penduduknya.
REFERENSI
Mulyadi Nurdin, Fiqih Zakat Kontemporer
Alwi Shihab, Islam Inklusivisme
Muhammad Quraish Shihab, Islam Jalan Tengah
Muhammad Quraish Shihab, Islam yang Saya Pahami
Kementerian Agama RI, Panduan Zakat
Yusuf Qardhawi, Fiqih Zakat
Wahbah Az-Zuhaili, Fiqhul Islam Wa Adillatuhu
Posting Komentar
Posting Komentar