Blogger news

Ibadah Puasa: Bentuk Moderasi Islam dalam Pendidikan Spiritual Penganutnya


Ibadah Puasa: Bentuk Moderasi Islam dalam Pendidikan Spiritual Penganutnya

Oleh: Musyrif Muhammad Ishaac


Kendati puasa dilakukan untuk aneka ragam tujuan, dan didorong oleh motivasi yang bervariasi, demi kesehatan, pengendalian diri, mengurangi berat badan, memperlambat proses penuaan, memelihara kecantikan. Namun sejak awal dalam sejarah kemanusiaan, puasa lebih dikenal sebagai sarana untuk mencapai kedalaman spiritual. Sikap menahan diri dari pemenuhan kebutuhan biologis jasmani selalu dinilai sebagai manifestasi dari ketergantungan kepada kekuatan transendental, kekuasaan yang Maha Tinggi. Puasa juga melambangkan kebebasan dari pasungan sifat kebinatangan manusia yang menghambat kedekatan kepada Tuhan.

Puasa sebagai Ibadah Moderat seluruh Agama

Hampir semua agama dan aliran filsafat keagamaan sejak dahulu hingga sekarang menganjurkan berpuasa untuk tujuan penyucian jiwa. Aliran filsafat Yunani-Romawi kuno, Phytagorean, berpendapat bahwa puasa adalah salah satu jalan untuk meraih kembali sifat dasar kesempurnaan primordial manusia. Puasa, bagi pemuka agama Hindu dan lainnya misalnya, merupakan kelaziman khususnya pada saat mempersiapkan diri untuk memasuki upacara dan perayaan keagamaan. Demikian pula halnya dengan tradisi klasik agama-agama di Cina. Chai (ritual puasa fisik), yang kemudian dimodifikasi oleh aliran Cina Taoisme menjadi Hsin Chai (puasa jiwa) merupakan anjuran khusus. Konsep serupa juga berlaku dalam tradisi Konfusianisme yang mencanangkan praktik puasa sebagai persiapan dalam melakukan penyembahan terhadap ruh nenek moyang.

Agama Buddha tidak ketinggalan. Walau Siddharta Gautama menganjurkan moderasi dalam pelaksanaan puasa, tidak sedikit biarawan dan biarawati penganut Buddhisme yang melakukan praktik puasa pada hari-hari biasa (hanya makan sekali sehari), dan berpuasa penuh pada awal dan pertengahan bulan. Masa kini penganut agama Buddha banyak yang berpuasa empat kali sebulan, yakni saat mereka melakukan introspeksi atas pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan.

Maka benarlah firman Allah bahwa puasa tidak hanya disyariatkan kepada umat Islam saja, namun juga telah disyariatkan jauh sebelum umat Islam, sebagai ibadah moderat guna penyucian spiritual para penganutnya.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

Artinya: "Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa," (Q.S. Al-Baqarah ayat 183)

Mengingat bahwa puasa merupakan tradisi milik semua agama, maka seyogyanya kita mampu menunjukkan sikap moderasi terhadap siapa saja yang berpuasa. Sikap moderasi tersebut paling tidak ditunjukkan dengan menahan diri untuk tidak secara demonstratif dan sengaja membangkitkan rasa lapar dan dahaga orang yang sedang berpuasa. Di samping itu kita juga dituntut untuk mengaktualisasikan nilai-nilai luhur yang terkandung dalam puasa sesuai dengan ajaran agama kita masing-masing.

Pendidikan Spiritual untuk Ketakwaan Sosial

Agama Islam, sebagai agama moderat, juga mencanangkan puasa sebagai sarana standar untuk menunjukkan kedekatan, kecintaan, permohonan rahmat, dan ampunan dari Tuhan yang Maha Kuasa. Dalam bahasa Islamnya, puasa mengantar kepada maghfirah (pengampunan dosa), rahmah (anugerah rahmat), dan 'itqun min al-nar (keselamatan dari siksaan api neraka) sebagaimana yang disabdakan oleh Nabi Muhammad Shallallahualaihi wa Sallam.

Dalam Islam, puasa bertujuan untuk memperoleh takwa sebagaimana yang telah disebutkan dalam Al-Qur'an Surah Al-Baqarah ayat 183 sebelumnya. Tujuan tersebut dapat tercapai hanya dengan menghayati arti puasa itu sendiri. Banyak yang berpuasa namun tidak mencapai hasil kecuali lapar dan dahaga, demikian sabda Nabi Muhammad saw. Tidak ubahnya dengan apa yang dianjurkan Nabi Isa alaihissalam, puasa harus diiringi dengan mengingat Tuhan dan berbuat kebajikan. 

Salah satu unsur dari berbuat kebajikan dan takwa yang diharapkan terpancar dari orang yang berpuasa adalah uluran tangan kepada sesama yang membutuhkannya. Orang yang berpuasa harus menunjukkan bahwa ia mampu membuktikan sifat dan atribut yang disandang puasa. Puasa Ramadhan bersandangkan atribut karim (ramadhan al karim) yang berarti pemurah.

Bukankah kita sepakat bahwa masih terdapat di antara kita yang hidup di bawah garis kemiskinan dan membutuhkan uluran tangan kita? Puasa dengan beragam bentuknya semua bertujuan untuk mendekatkan manusia kepada Yang Maha Kuasa. Namun, Yang Maha Kuasa tidak akan berkenan mengabulkan puasa apalagi memperkenankan kehampiran kita kepada-Nya selama tetangga kita masih membutuhkan uluran tangan.

Pengendalian Diri 

Bnyak perilaku dan peristiwa yang mendorong manusia untuk berpuasa tanpa motivasi agama, misalnya agar lebih cantik dan langsing, sehat dan lainnya. Padahal, jika kita memahami makna esensial puasa, yaitu pengendalian diri, sangatlah dibutuhkan oleh semua manusia, baik secara individu maupun kelompok. Baik kaya maupun miskin, pandai maupun bodoh, dan baik untuk kepentingan pribadi maupun kelompok. Oleh karena itu, dalam bahasa modern, puasa merupakan salah satu ekspresi dari orang yang bukan hanya cerdas secara spiritual, baik spiritual ketuhanan dan spiritual sosial. Hal ini karena puasa akan membentuk kepribadian pelakunya dan membingkainya dalam perilaku positif seperti takwa kepada Tuhannya, sabar, empatik terhadap sesama, social skill, dan lain sebagainya

Di samping itu, Allah swt. tidak secara langsung menggunakan kata atau kalimat perintah dalam ayat tersebut. Allah swt. menggunakan kalimat “kutiba ‘alaikumus siyam” yang mengisyaratkan kewajiban berpuasa. Menurut sebagian ulama’, perintah dalam Al Qur’an yang didahului dengan kata “kutiba ‘alaikum” mengisyaratkan bahwa perintah tersebut berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan fitrah manusia. Pada ayat ini, Al Quran menjelaskan perintah puasa dengan menggunakan kata “kutiba ‘alaikum” yang mengisyaratkan bahwa puasa merupakan sesuatu yang bertentangan dengan fitrah manusia. Oleh karena itu, manusia diharuskan untuk mengekang fitrahnya untuk menjalankan puasa. Pada fitrahnya, manusia perlu makan ketika lapar dan minum ketika haus. Tetapi, dengan berpuasa, manusia dapat mengekang fitrah tersebut.

Pengekangan terhadap fitrah tersebut merupakan bentuk dari pengendalian diri. Pengendalian diri akan mengantarkan manusia pada kebebasan dari berbagai belenggu dan pengaruh yang mungkin dapat menghambat kemajuannya. Karena, secara umum, jiwa manusia berpotensi untuk sangat cepat terpengaruh, khususnya, bila ia tidak memiliki kesadaran mengendalikannya serta tekad yang kuat untuk menghadapi bisikan–bisikan negatif. Oleh karena itu, menjalankan puasa secara benar merupakan salah satu kiat sukses bagi manusia. Puasa bukan saja wajib, namun juga kebutuhan bagi manusia. Tidak ada manusia yang memiliki cita–cita untuk gagal dalam hidupnya.


REFERENSI

Muhammad Quraish Shihab, Wawasan Islam tentang Moderasi Beragama

Muhammad Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur'an: Tafsir Tematik 

Alwi Shihab, Islam Inklusif: Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama

Website Nu.online.or.id dan Nutrenggalek.or.id

Refernsi gambar: https://newsmaker.tribunnews.com/2021/04/12/kata-kata-ucapan-selamat-puasa-ramadhan-2021-mohon-maaf-dan-kata-mutiara-cocok-untuk-wa-ig-fb

Posting Komentar